Hijab, Menjaga Keindahan
Setiap
jengkal dari tubuh seorang wanita adalah keindahan. Yap, keindahan. Keindahan
yang disukai semua kaum adam. Tidak memandang masih kecilkah ia, dewasakah ia,
seksikah ia, gendutkah ia, putihkah ia atau hitamkah ia. Semua wanita itu
indah. Karena indah itulah, ia harus ditutupi dan dipersembahkan untuk yang berhak
saja.
Disetiap
hati nurani seorang perempuan (muslimah) pasti pernah terbesit rasa malu ketika
auratnya terbuka. Hanya saja ukuran atau batasanya yang berbeda-beda. Ada yang
malu ketika terlihat lengannya, ada yang malu ketika terlihat pahanya, ada yang
malu jika terlihat betisnya, ada yang malu jika memakai kaos lengan pendek, ada
yang malu jika tidak memakai kaos kaki, ada yang malu jika kaos kakinya bolong,
berbeda-beda. Rasa ingin menjaga aurat itu pasti ada didiri setiap muslimah,
sejauh apapun dia dari islam (apalagi yang dekat). Entah itu hanya sekali, tapi
pasti pernah. Jangan diabaikan yang hanya sesekali itu, karena lama kelamaan ia
akan berkurang, bahkan tak akan muncul lagi.
Ini
sepotong kisah seorang gadis kecil yang mendengarkan kata hatinya walau ia
belum paham apa yang ia lakukan.
“Ibu,
ibu... aku mau pake jilbab kayak ibu” Rengeknya sore itu.
“Besok
pas masuk SMP aja nak, tanggung seragamnya.” Jawab ibunya, masih tetap sibuk
dengan masakannya.
“Tapi
beasiswa siswaku kata ayah bulan ini cair loh bu, buat beli seragam ya?”
bujuknya.
Kali
ini si ibu menghentikan aktivitasnya, beliau menunduk, mengusap kepala gadis
kecil itu lembut, dan menatap dalam ke matanya. Ada tanda tanya yang ditujukan
untuk anak keduanya yang baru berusia 11 tahun. Ia meskipun masih polos, sudah
mengerti arti tatapan ibunya. Ia mengangguk tiga kali, cepat. Ibunya tersenyum.
“Besok
kita beli seragamnya.”
“Kan
beasiswa belum dapat buk.”
“Beasiswa
langsung dari ibu...”
Gadis
itu memeluk pinggangnya erat.
Gadis
ini tinggal disebuah kota terpencil, disudut utara provinsi bengkulu. Gadis kecil
itu aku. Dan inilah awal prosesku berjilbab. Spontan. Tanpa rencana. Aku kelas
6 SD semester satu saat itu, aku belum paham apa itu hidayah, dan apa itu sebenarnya
aurat. Yang aku tau, tubuhku sudah tumbuh remaja, seragam olahragaku sudah
kekecilan, meskipun sudah duakali pesan baru. Rokku juga sudah diatas lutut
kala itu. Aku merasa risih. Aku tidak nyaman. Juga rambut ekor kudaku yang
sering dijadikan sasaran kejahilan kawan-kawan kelasku. Ditarik sana sini
sambil lewat. Jahil.
Dizaman
itu (2002) didaerah tempat tinggalku yang cukup dipedalaman ini, sedikit sekali
dijual seragam SD panjang. Jadi ibu memutuskan menjahit sendiri bajuku.
Seharian aku menunggui ibu menjahit. Satu persatu seragamku jadi. Senangnya tak
terlukiskan. Dan hari itu, senin. Dengan seragam baru plus jilbabku. Dengan
penuh kebahagiaan, dan kebanggan yang entah muncul dari mana, aku ikut upacara.
Aku menjadi pusat perhatian, namun aku benci itu. Tapi mau tak mau aku harus
terima. Akulah satu-satunya siswi berjilbab disekolahku. Sejak saat itu, aku
tak pernah melepas jilbabku jika keluar rumah. Tapi aku masih dengan duniaku,
masih main bola kaki dengan adik dan tetangga-tetanggaku, keeper juga masih
menjadi jabatan tetapku. Hingga suatu hari, yang menjadi hari terakhir aku
bermain bola, saat aku terjatuh dilumpur (habis hujan) dan aku memakai jilbab
putih sekolahku. Ibuku marah. Satelah itu, end. Karirku didunia persepak bolaan
berakhir. Hee.
Setiap
muslimah, berapapun usianya, akan mendapatkan ujian terkait keistiqomahannya
berjilbab. Aku juga yakin, teman-teman diluar sana memiliki ujian yang
berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya, dan inilah ujian untuk Tinu Laberta
kecil. Merasa dijauhi dan diasingkan sungguh membuat aku ‘galau’ kala itu.
Bagaimana tidak, aku yang tomboy harus beradaptasi dengan rok panjangku. Rok
panjang itu menghalangiku berlarian bersama wawan (sahabat kecilku, sahabat
semejaku, sipemakan semangka), rok panjang itu menghalangiku bermain lompat
tali, gobak sodor, bulu tangkis, dan banyak lagi permainan-permainan lain, yang
kini hanya bisa aku lakukan saat jam olah raga saja, seminggu 1 kali, yang
biasanya tiap istirahat aku lari kesana kemari, lompat sana sini,dan sekarang
aku hanya bisa duduk manis menonton, ada sedikit kesedihan, tapi aku kecil
selalu menguatkan diri. Dan memang begitulah seharusnya kita, seperti yang
selalu dikatakan ustadzahku, bahwa keistiqomahan adalah harga mati bagi setiap
muslim. Apapun ujiannya, kendalanya, rintangannya, yakinlah itu hanya batu
kecil yang allah letakkan didepan kaki kita, Allah ingin tau usaha kita
melaluinya. Untuk menggerakkan kita kedepan, agar kita tidak stagnant. Dan
istiqomah adalah satu-satunya pilihan. Tapi aku kecil mana tau apa itu
istiqomah, apa itu ujian. Yang aku tau aku harus mulai beradaptasi dengan dunia
baruku, dan aku harus bertahan dengan pilihanku. Aku telah menganggukkan kepala
kepada ibuku, tanda keyakinanku, jadi aku harus kuat. Lagipula, entah mengapa
aku begitu bangga dan merasa menang dengan jilbab yang ku kenakan, entah lah,
setidaknya itu yang aku kecil tau.
Dan,
aku bersyukur sekali sekarang. Airmata bahagiaku masih sering mengalir. Setidaknya
aku sudah memakai jilbab saat pertama kali baligh. Meskipun nilai berjilbab
sebenarnya bukan saat kita memulai berjilbab. Tapi perjalanan setelahnya.
Ketika keistiqomahan di uji. Ketika muncul cibiran disana-sini. Ketika harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dulu sama sekali tak bisa ku jawab. “Kenapa kamu
berjilbab?”
Pertanyaan
dari teman-teman, kakak tingkat yang sungguh memojokkanku kala itu. Bukan apa-apa,
tapi karena aku memang belum punya dasar, tak punya alasan, aku hanya ingin
memakainya, titik. Itu saja, tak ada yang lain. Sebenarnya bisa saja ku jawab, “Disuruh
sama ibu”, atau “Menutup aurat kan wajib”. Aku tak ingin bersembunyi dibalik
jawaban-jawaban yang tak kupahami, karena jujur, saat itu aku belum paham aurat
itu kenapa harus ditutup. Lucu memang. Itulah hidayah, datang dengan cara yang
halus, hingga banyak orang yang tidak menyadari kedatangannya dan seringkali
berkilah, “Belum dapet hidayah”, padahal mungkin diri yang kurang peka.
Saat
masuk SMP semuanya terasa lebih mudah, beberapa teman kelasku ada yang
menggunakan jilbab. Tentu saja aku senang bukan main. Aku juga mulai pindah
lingkaran. Lingkaran baru bersama teman-teman ku. Banyak hal yang kuterima dari
ustadzahku. Juga tentang jilbab ini. Tentang makna menjaga aurat, menjaga diri,
juga tentang istiqomah. Aku dan istiazzah, teman sekelasku yang segera menjadi
sahabatku adalah anak seorang ustadz, kami belajar bersama, mengisi waktu
istirahat dengan alma’tsurat, indah indah indah. Semua sifat-sifat tomboyku
mulai kuhilangkan, meskipun sampai sekarang masih berbekas.
Masa
SMA juga kulalui dengan hal serupa, hidupku bertambah warna dengan aktifnya aku
di Risma SMA, atau kami sebut ROHIS. Dimasa-masa inilah aku baru benar-benar
mulai memahami, mengapa aurat wanita memang wajib dilindungi. Kedewasaan
menuntun pemahaman itu. Aku menemukan teman-teman ‘sejenis’ yang bersemangat
dalam kajian, juga kegiatan-kegiatan kerohanian islam lain. Mulai saat itu,
wanita cantik dimataku cuma satu, akhwat, muslimah dengan jilbab menjuntai
lebar. Keanggunnan terpancar begitu saja, menurutku. Sestandar apapun bentuk
mukanya, menurutku ia cantik dengan jilbab panjangnya. Kecantikan yang tidak
dibeli dengan uang (make up), kecantikan alami hasil dari air wudhu dan sujud
dihadapan Allah SWT. Kecantikan luar biasa. Cantik yang paling cantik, bagiku.
Sekarang
aku mahasiswa semester 6 di Universitas Bengkulu. Ujian demi ujian
mempertahankan jilbab selalu ada. Dari sekolah dasar, ujiannya mungkin terasa
ringan saat aku melihatnya sekarang. Saat SMP, SMA ujian tren-tren jilbab yang
lebih banyak menyerang, tapi ya alhamdulillah, masih bertahan seperti ini.
Walau jauh dari sempurna, tapi inilah yang aku bisa perjuangkan untuk diriku.
Terkhusus
untuk saudari-saudariku, hadapilah segala ujian yang menyapamu, setiap
keputusan (termasuk berhijab) mempunyai rintangan-rintangan yang harus dilalui,
semuanya sesuai kemampuan kita, jangan merasa gak sanggup duluan. Berjilbab itu mudah, sangat mudah dan nyaman,
aman, dan tentram bagi kita maupun yang memandang. Kesejukan tercipta begitu
saja, begitu kain menutup kepala kita. Ini rahmat dari allah, aturan yang bukan
mengekang tapi melindungi, menghargai, dan menghormati.
Keanggunanmu
terpancar dari senyummu, bukan legam nya rambutmu. Kecantikanmu terpancar dari
lembut tutur katamu, bukan lembut rambut indahmu. Sudahlah, tutup saja. Imbalannya
surga. #maksa. J
FORM BIODATA
Nama lengkap :
Tinu Laberta
No KTM/NPM :
A1E010032
No HP :
081919212981/082372521607
Alamat lengkap :
Pondokan Natasya, Gang Masjid Alhikmah RT 19 RW Kelurahan Kandang Limun muara
bangkahulu(UNIB belakang), Bengkulu
Komentar
Posting Komentar